Sunday, 11 February 2007

PENYAIR LETIH

Minggu 11 Februari 2007, aku membaca puisi Acep Zamzam Noor berjudul SEBUAH KUTUKAN sepanjang dua bait, enam baris tiap bait. Pertengahan membaca, benakku tiba-tiba saja menyalin frasa: Penyair(-penyair) letih. Tiga nama beruntun muncul. Sutardji Calzoum Bahri, Subagio Sastrowardojo, dan Chairil Anwar. WALAU, SADJAK, dan RUMAHKU.


Sebagai catatan, saya maklumkan frasa ‘penyair(-penyair) letih’ bukanlah direncanakan untuk menerangkan kondisi fisik empat penyair. Frasa itu muncul begitu saja, semacam sensasi indrawi yang saya dapatkan ketika membaca SEBUAH KUTUKAN. Setelah menyelami frasa ‘penyair(-penyair) letih’, saya sadar frasa tersebut memang bukanlah dalam arti leksikal. Dapat dikatakan metafora, metafora yang berada di luar kuasa saya untuk menangkap makna yang terkandung di dalamnya. Meski terdengar naïf, atau berlagak mencari kata-kata, frasa disebut memang demikianlah adanya dalam pikiran dan batin saya.


 


SEBUAH KUTUKAN


Bermula dari semacam keterluntaan, kau datang


Dengan kalimat-kalimat panjang, senyum yang dipaksakan


Kau datang padaku dengan sajak-sajak yang ditulis


Sebagai pernyataan. Tapi sajak adalah kutukan bagiku


Di mana ruang menjadi jurang, dan kita harus melompat ke sana


Untuk menyongsong lahirnya pengucapan baru


 


Betapa tersiksa membaca sajak-sajak sayupmu


Dengan segenap kesadaranku yang semakin redup


Kulihat lampu-lampu padam, seperti langkah olengmu


Yang terlepas dari pedihnya setiap penciptaan:


Sebuah kutukan, di mana keterluntaan kau dan aku


Akan menjadi bagian dari kerumunan waktu yang tak kekal Acep Zamzam Noor


 


(TIFA, Media Indonesia, Minggu 11 Februari 2007. Halaman 22. Puisi Acep Zamzam Noor)


 


WALAU


walau penyair besar


takkan sampai sebatas allah


 


dulu pernah kuminta tuhan


dalam diri


sekarang tak


 


kalau mati


mungkin matiku bagai batu tamat bagai pasir tamat


jiwa membumbung dalam baris sajak


 


tujuh puncak membilang bilang


nyeri hari mengucap ucap


di butir pasir kutulis rindu rindu


 


walau huruf habislah sudah


alifbataku belum sebatas allah


 


1979


 


(O Amuk Kapak- Tiga Kumpulan Sajak Sutardji Calzoum Bahri, Penerbit: Yayasan Indonesia dan majalah HORISON. Cetakan Kedua, 2002)


 


SADJAK


Apakah arti sadjak ini


Kalau anak semalam batuk-batuk,


bau vicks dan kajuputih


melekat di kelambu,


Kalau isteri terus mengeluh


tentang kurang tidur, tentang


gadjiku yang tekor buat


bajar dokter, budjang dan makan sehari,


Kalau terbajang pantalon


sudah sebulan sobĕk tak terdjahit.


Apakah arti sadjak ini


Kalau saban malam aku lama terbangun :


Hidup ini makin mengikat dan mengurung.


Apakah arti sadjak ini :


Piaraan anggerĕk tricolor di rumah atau


pelarian ketjut ke hari achir?


 


Ah, sadjak ini,


mengingatkan aku kepada langit dan mĕga,


Sadjak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian.


Sadjak ini melupakan aku kepada pisau dan tali


Sadjak ini melupakan kepada bunuh diri.


 


(SIMPHONI kumpulan sadjak Subagio Sastrowardojo, Penerbit: Badan Penerbit PUSTAKA JAYA – JAJASAN JAYA RAYA, Djakarta. Cetakan Kedua, 1971)


 


RUMAHKU


Rumahku dari unggun-timbun sajak


Kaca jernih dari luar segala nampak


 


Kulari dari gedong lebar halaman


Aku tersesat tak dapat jalan


 


Kemah kudirikan ketika senjakala


Di pagi terbang entah ke mana


 


Rumahku dari unggun-timbun sajak


Di sini aku berbini dan beranak


 


Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang


Aku tidak lagi meraih petang


Biar berleleran kata manis madu


Jika menagih yang satu.


 


27 April 1943


 


(AKU INI BINATANG JALANG – Koleksi sajak 1942-1949 oleh Chairil Anwar. Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama. Cetakan kedua belas: Juli 2003)


 


Keempat puisi dari empat penyair disebut, bagi saya pribadi, membantu melihat kompleksitas relasi antara penyair dan puisi. Acep menyoal menyongsong lahirnya pengucapan baru serta keterluntaan kau dan aku (yang) menjadi bagian dari kerumunan waktu yang tak kekal. Membaca Acep serasa saya mendengar perkuliahan eksistensialisnya Albert Camus minus tesis peniadaan hari esok. Bagi Asep, dugaan saya, puisi memberinya satu kerja wajib, yakni menyongsong lahirnya pengucapan baru. Anehnya, di saat melakoni kewajiban Acep malah bertemu kesadaran kerumunan waktu yang tak kekal. Kewajiban menyongsong lahirnya pengucapan baru ternyata berbenturan dengan kenyataan kerumunan waktu yang tak kekal.  Lantas, adakah jalan keluar dari situasi tersebut? Menggunakan logika, pilihan jawaban atas pertanyaan itu ada tiga. Balik-kanan atau diam atau maju terus. SEBUAH KUTUKAN tak menyiratkan pilihan balik-kanan, pun diam atau maju terus. Yang ada: diam dan maju terus, keterluntaan. Demikianlah kodrat relasi antara penyair dan puisi di bola penglihatan Acep Zamzam Noor. Pada titik ini, kata ‘penyair’ dan ‘puisi’ bagi saya: Metafora!!!


Di WALAU, Sutardji mengedepankan soal walau huruf habislah sudah (tapi) alifbataku belum sebatas allah. Masih dalam konteks yang sama, relasi penyair dan puisi, nyatalah perbedaan puisi di bola penglihatan Sutardji dengan Acep. Menurut saya, puisi bagi Sutardji adalah sarana untuk menjadi setara dengan Allah. Hal ini dimungkinkan dengan asumsi: Allah pun menggunakan puisi untuk hadir dalam kehidupan manusia. Namun, di tengah perjalanan kepenyairannya, Sutardji menemukan bahwasanya antara penyair dan Allah terbentang jarak yang sudah serupa dengan di mana ruang menjelma jurang. Dalam situasi tersebut, jarak yang membentang tetap menjadi soal yang tak terselesaikan. Tak satu pun jalan keluar dari permasalahan itu kecuali kesadaran: takkan sampai sebatas allah. Di Sutardji, relasi penyair dengan puisi hadir sebagai jalan mencari di manakah Allah berada.


Pada Subagio, di SADJAK, relasi penyair dengan puisi lahir berujung pada melupakan aku kepada bunuh diri. Jawaban ini tidak berdiri sendiri. Ada latar belakang ekonomis yang dikisahkan dalam bait pertama SADJAK. Sentral masalahnya: apakah puisi punya nilai ekonomis yang bisa membebaskan penyair dari kemelaratan materi? Menelisik lebih dalam, pertanyaan ini hanya bisa hadir bila penyair berprasangka bahwa puisi dapat menghasilkan materi. Tapi, pada kenyataan tidak. Puisi tidak menghasilkan materi, sperti yang dikisahkan SADJAK. Bila demikian, seharusnya terbuka peluang penyingkiran puisi dari dunia keseharian yang notabene membutuhkan uang, entah untuk beli obat vicks dan kajuputih, mengurangi keluhan istri soal kurang tidur, gadji, bajar dokter, makan sehari, serta pantalon sebulan sobĕk. Anehnya, meski menyadari kelemahan puisi untuk menghasilkan materi, lantas apa sebabnya penyair tak bisa meninggalkan puisi. Problem ini diselesaikan dengan satu jawaban romantis (setelah klaim pelarian ketjut ke hari achir dipertanyakan): melupakan aku kepada bunuh diri. Dalam situasi demikian, relasi penyair dan puisi ternyata memunculkan variabel baru, yakni dunia keseharian. Dunia keseharian yang mengingatkan pada bunuh diri ternyata dapat dikalahkan oleh puisi yang melupakan aku pada bunuh diri.


Si Binatang Jalang, enam tahun satu hari sebelum kematiannya, tegas berikrar rumahku dari unggun-timbun sajak (tempat) aku berbini dan beranak. Nadir akhir dari ikrar ada di aku tidak lagi meraih petang-biar berleleran kata manis madu-jika menagih yang satu. Relasi penyair dan puisi mewujud dalam kesatuan utuh-tak lepas hingga jika menagih yang satu. Bagi Chairil, relasi penyair dan puisi bukanlah sebagai jalan menuju keberadaan Allah, melainkan romantisme percintaan yang sungguh revolusioner hingga kekuasaan-yang-tak-terbantahkan memisahkan antara dunia penyair dan dunia puisi dengan dunia pada 28 April 1949.


Dari empat penyair disebut terungkaplah kompleksitas dimensi relasi penyair dan puisi, yakni SEBUAH KUTUKAN, WALAU, SADJAK, dan RUMAHKU. (Dan mungkin saja dimensi relasi penyair dan puisi semakin berkembang berkembang hingga berkembang, dan akhirnya--sejalan dengan evolusi semesta galaksi yang menuju kehancuran--semua pergerakan diselesaikan entah dengan cara bagaimana, yang pasti bakal membuat semua kita menganga terpana.)  


 


[David Tobing]